Kamis, 25 Agustus 2011

Kuliah Menjemput Hidayah

 
Terlahir dari keluarga abangan coret, aku terdidik dengan rambu-rambu Islam yang sangat minim, untuk tidak mengatakan preman atau liar atau apalah namanya. Sholat, puasa Ramadhan dan ritual Islam lainnya kulalui biasa nyaris tanpa goresan makna yang berarti dalam memory kepalaku.

Satu hal yang kusyukuri dari abangannya keluargaku adalah karena bukan abangan totok tapi abangan coret. Sehingga keluargaku jauh dari praktek-praktek syirik dalam mencari rizqi maupun bila ada hajatan tertentu. Ditambah sifat pemaluku yang cukup dominan, alhamdulillah berhasil menjagaku dari trend pacaran yang umum dilakukan teman-teman sebayaku. Padahal kakak perempuanku dikenal sebagai bunga desa. Sampai guru SD-nyapun ikut me'macari'nya. Tak terhitung pemuda kampung yang kadang minta tolong aku menyampaikan surat atau salam untuk kakak-ku.

Kisah pacaran yang sampai sekarang masih kuingat, temen sebangku sewaktu aku SMA hampir setiap Sabtu minta ditentir soal matematika agar malam Minggu bisa apel sambil ngajari sang do'i (yang masih satu SMA) pelajaran matematika yang jadi momok saat SMA karena gurunya terkenal killer. Hari Senin paginya giliran aku mendengarkan keberhasilan dia berpacaran, meski sekedar baru saling pegang-pegang tangan pun dia ceritakan. Maklum ini cerita tahun 1990-an.

Banyak lagi sebenarnya kekonyolan-kekonyolan yang aku alami dan lakukan masa itu, tapi sebagaimana petuah ustadz, aib yang sudah Allah tutupi kenapa mesti aku buka sendiri, hehe....

SMA kulalui dengan prestasi akademik yang lumayan baik walaupun tidak masuk jajaran sepuluh besar, namun ada kebanggaan tersendiri karena semua kulalui dengan usaha sendiri. Ini baru kuketahui dari cerita istriku, bahwa guru matematika yang terkenal killer itu menyelenggarakan LES yang ternyata diikuti oleh temen-temenku yang notabene punya ranking disekolah. Dan praktek LES itu ternyata tidak fair, dengan bocoran dan perlakuan beda antara yang LES dan yang tidak. Tapi dasar aku kuper atau lugu atau culun yah, baru tahu setelah menikah, hampir setelah duapuluh tahun kemudian, ck..ck..ck..

Lulus dengan prestasi biasa, informasi minim dan memang aku bukan aktivis, akhirnya aku ikuti ajakan Heri Sugiharto dan Mohammad Churiyanto, dua temanku yang bertahan di Bandung sampai saatnya test UMPTN, meski puluhan lainnya memilih pulang setelah ditakut-takuti oleh Mas Budi, mahasiswa Teknik Pertambangan ITB yang sudah 8 tahun belum lulus.

Diterima di Matematika ITB bareng dengan Aminudin (adik mas Nasukha, BATAN) yang satu sekolah dan sama-sama jurusan fisika waktu SMA tapi belum pernah satu kelas, lucunya aku baru kenal di Bandung, hehe....terlalu !!! Dengan Amin lah episode kuliah dapat hidayah kumulai. Disuruh kakaknya yang di BATAN, Aminudin ngajak aku ikut dauroh bersama temen-temen alumni Bimbel Nurul Fikri Jakarta. Orang yang mesti kami temui saat itu, begitu pesan mas Nasukha, adalah bang Tif, yang sekarang jadi MenKomInfo sejak 2009 kemarin. Pencerahan-pencerahan tentang Islam yang aku dapatkan selama mengikuti dauroh. Islam, agama yang kuanut sejak lahir, baru aku kenal dengan baik tahun 1990-an.

Bersama Aminudin dan temen-temen alumni bimbel NF kulalui liqo' pekanan dengan Bang Tif (Tifatul Sembiring). Beliau bolak balik Jakarta – Bandung setiap pekan. Dengan tas ransel dipunggung penuh berisi buku-buku kecil/saku, barang dagangan bang Tif saat itu. Kebanyakan buku-buku terbitan Asaduddin Press dan editornya Abu Fathan, itu semua identitas bang Tif. Jadi editor, percetakan dan distributor sekaligus. Luar biasa yah? Sekitar satu tahun kami jalani ngaji pekanan dengan bang Tif untuk kemudian, entah karena demi efektivitas waktu dan tenaga beliau, liqo’ kami dipindah ke bang Ojid (Syamsu Rosyid) dosen UI yang sedang kuliah S2 di ITB. Cukup lama kami ngaji dengan bang Ojid sampai beliau kelar S2 di ITB dan kembali ke UI Depok. Sehingga gantian kami yang bolak-balik Bandung – Jakarta tiap pekan.

Selain liqo’ dengan teman-teman alumni bimbel NF, aku dan Aminudin juga ikut grup ngaji dengan kakak kelas di Matematika ITB. Dengan mentor mas Masrur pada awalnya dan dilanjutkan oleh mas Kosala Dwija Purnomo. Dari kedua liqo’ tsb lah aku sedikit-sedikit mulai tahu tentang jalur koordinasi liqo’ tarbiyah. Dengan teman-teman NF diidentifikasi sebagai jalur Jakarta sedangkan dengan teman-teman jurusan sebagai jalur Bandung. Kenapa jalur Jakarta tidak menyerahkan saja ke ikhwah Bandung? Ternyata salah satu alasannya adalah jalur Bandung kurang rapih karena ada beberapa liqo’ yang sebelumnya diserahkan ke jalur Bandung namun bubar. Wallohu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar