Kamis, 16 Februari 2012

Tidak Ada Mantan Murobbi


Entah sudah berapa lama saya tidak bertemu dengan dua orang murabbi saya itu. Yang satu,  secara langsung dengan ‘telaten’ membimbing saya mendalami al-islam, agama yang saya anut sejak lahir namun baru kuseriusi untuk mengenalinya setelah dua puluh kemudian. Sedang yang satu lagi secara tidak langsung banyak mengajari saya tentang hidup mengalir bersama islam. Yang satu, adalah murabbi kelima saya dari sudut pandang organisasi dakwah, sedang yang satunya entah murabbi ke berapa puluh atau ke berapa ratus, karena mereka-mereka yang dengan sadar atau tidak mengajari saya tentang hidup ini kaitannya dengan al-islam, saya anggap sebagai murabbi saya.

Yang satu karena umur biologis maupun umur tandzim, kafa’ah, kepandaian dan lain-lain secara organisasi dakwah adalah mumpuni, maka posisi hirarkinya selalu berada ‘diatas’ saya, sehingga tidak susah dan wajar untuk saya memposisikan beliau sebagai murabbi saya dalam hampir semua hal. Sementara yang satunya, meski umur biologis dan umur tandzimnya di atas saya namun entah karena parameternya salah atau mungkin ikhwah yang menggunakan parameter itu yang salah sehingga pernah dalam sekian tahun periode pembinaan organisasi dakwah, beliau yang notabene adalah murabbi saya, secara hirarki adalah ‘anak buah’ saya. Namun secara prinsip beliau tetap murabbi saya.

Dalam banyak hal posisi istri saya dengan istri-istri dari dua murabbi saya itu, mempunyai kesamaan. Istri saya adalah mad’u dari istri dua murabbi saya tersebut. Sehingga sering silaturahmi saya dan atau istri saya adalah kesempatan untuk kembali menimba ilmu dari beliau-beliau tersebut. Adalah istri saya yang cukup sering menyempatkan diri berkunjung ke salah satu murrabiyyahnya itu disela-sela agenda di tegal. Bahkan di hari jilbab internasional (hari valentine kata orang) dengan semangat istri minta saya mengantarnya keluar kota untuk menengok salah satu murabbiyahnya yang dirawat di rumah sakit pasca operasi. Selang sehari dia ke murabbiyyah satunya yang ternyata anaknya sedang sakit dan perlu juga dioperasi. Dalam waktu hampir bersamaan saya dan istri mendapati musibah sedang menguji dua keluarga ‘guru-guru’ kami tersebut. Namun sedih rasanya kami berdua tidak bisa membantu meringankan beban itu selain dengan do’a-do’a kami saja.

Lebih membuat kami sedih sebenarnya adalah kisah yang kami dengar dari salah satu keluarga murabbi kami tersebut. Selain ujian kesehatan anaknya yang sedang beliau hadapi, ada perlakuan ikhwah yang membuat beliau sakit hati. Dengan posisi dan jabatan organisasi dakwah yang sering orang menyebut sebagai qiyadah dakwah di level daerah, tempat murabbi saya tinggal, seorang ustadz muda lengkap dengan titel syari’ahnya menasehati tentang tidak wajibnya mencari nafkah bagi seorang istri. Sebuah nasehat yang mungkin benar dari sisi materi tapi salah sasaran dari sisi siapa yang dinasehati. Bagaimana mungkin telinga sehat akan bisa menerima nasehat itu, sementara susah payah istri membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga yang sehari-hari saja sudah jungkir balik beliau suami istri (murabbi saya tersebut) mengorbankan beberapa hak yang semestinya dipenuhi. Baik hak anak-anak atas waktu mereka, maupun hak agenda-agenda dakwah yang sering berbenturan dengan waktu beliau-beliau mencari maisyah. Apatah lagi dengan kondisi kesehatan anaknya yang membutuhkan biaya operasi yang tidak sedikit tentunya. Alih-alih membantu meringankan, justru yang diperoleh nasehat agar sang istri tidak sering absent dalam agenda dakwah karena tidak ada kewajiban mencari nafkah bagi seorang istri. Sementara fakta disekitarnya, ada istri-istri secara materi sudah dicukupi suami tapi mereka tetap mengejar karir sampai-sampai sering terlambat bahkan ijin LU, namun tidak dinasehati oleh ustadz muda ini. Mungkin karena strata suaminya yang di atas ustadz muda ini jadi kayak pisau, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Sementara capaian-capaian organisasi dakwah yang dulu dengan susah payah beliau ikut merintisnya, sekarang sudah mulai banyak mengantarkan perbaikan ekonomi para kader-kadernya yang notabene adalah para mad’u beliau, murabbi saya yang satu tersebut. Namun dengan ukuran/parameter yang ditetapkan oleh oraganisasi dakwah, beliau masuk dalam jajaran yang “tidak bisa menikmati” secara langsung, sementara justru himpitan kesulitan dan hutang yang melilit kehidupan beliau ditambah dengan karakter beliau yang keras sehingga sering disalah pahami ikhwah yuniornya. Padahal kalau saya teringat jasa beliau yang merupakan salah satu dari ‘assabiqunal-awwalun’-nya daerah tempat beliau tinggal, sangat layak untuk beliau dikafalahi sekedar untuk meringankan beban hidup beliau dan keluarganya. Sementara para ‘assabiqunal-awwalun’ lainnya dimudahkan Allah dengan “menikmati” hasil jerih payah rintisan yang beliau-beliau tanam dahulu. Bahkan sebagian mereka yang tidak ikut merasakan “nikmat”nya menanam-pun sekarang ikut merasakan manisnya buah hasil panen itu. Wallahu a’lam.

Melihat kondisi salah satu murabbi saya dengan sikap qiyadah dakwah di daerahnya, saya jadi teringat tulisan seorang doctor IPB tentang “Mari Berbicara Kesederhanaan; Bagian 2. Otensitas dan Relevansi” yang saya kutip bagian akhirnya saja, karena sang doctor hanya membolehkan kami membaca dan melarang menyebar luaskan tulisan tersebut, mudah-mudahan kalau mengutip sebagiannya tidak termasuk yang dilarang, hehe…
Apakah anda mengira kesederhanaan itu dilakukan karena ia (Umar bin Khatab) ingin mengalami “moksa” dan kebahagian eskatism ala para sufi.  Kesederhanaan beliau itu punya relevansi yang sangat kuat terhadap kemenangan dakwah yang spektakuler tersebut;
1) ekspansi dakwah yang spektakuler itu membutuhkan soliditas internal yang sangat prima, dan tidak mungkin soliditas seperti itu terjadi kalau kesenjangan antara “the have” dan “the have not” hadir bahkan tampak vulgar dalam kehidupan nyata.
2) Ghanimah adalah keniscayaan output dari ekspansi jihad/dakwah. perebutan ghanimah (harta) dalam ekspansi jihad adalah penyebab postulatik yang akan merubah kemenangan menjadi kekalahan, perang uhud telah membuktikan hal tersebut bahkan dicatat dalam al-qur’an untuk menjadi peringatan abadi bagi para da’i sepanjang zaman.
Beliau radhiyallahu anhu ingin menunjukkan pencapaian-pencapaian ghanimah tidak indentik dengan pencapaian-pencapaian kenikmatan dunia. Sehingga dengan demikian konflik karena perebutan ghanimah kehilangan momen untuk hadir di tengah para mujahid.
Saya yakin, anda dan saya tidak punya kapasitas otensitas dan relevansi yang sangat prima kontribusinya terhadap pencapaian prestasi dakwah sekaliber Umar r.a ketika berbicara tentang urgensi kesederhanaan.  itu wajar dan sangat bisa diterima.
Yang menjadi masalah itu adalah ketika secara sadar kita ingin menghilangkan otensitas dan relevansi itu dalam diri kita sehingga kita tidak perlu berbicara tentang urgensi kesederhanaan sebagai faktor penyebab penting kemenangan dakwah.  Itulah yang saya rasakan maka saya paksa diri saya bicara tentang urgensi kesederhanaan sebagai faktor penting kemenangan dakwah
Ya, Allah mudahkanlah urusan murabbi-murabbi saya itu. Meski yang satu terlihat dalam pandangan dhoif saya tidak bisa leluasa ikut menikmati capaian-capaian kerja rintisan mereka dibanding murabbi saya yang satunya, tapi saya yakin keduanya ada dalam skenarioMu ya Allah. Engkau Maha Adil mengatur kehidupan hamba-hambaMu, apatah lagi beliau-beliau adalah para pembela agamaMu ya Allah. Harmonikan hubungan keduanya, juga dengan ikhwah yuniornya, ya Allah. Kuatkan ikatan hati kami, sehingga saya bisa selalu menimba ilmuMu dengan perantara para murabbiku itu, meski kami tidak lagi dalam satu wadah organisasi, amin….